NEWCASTLE, akhir januari 2009
Namaku Vanesha, tepatnya Vanessha
Clown. Aku seperti gadis 16 tahun lain, sekolah, novel, musik, dan tentu gosip.
Tapi huruf C-L-O-W-N yang terangkai menjadi nama belakangku itu yang membuatku
merasa berbeda dengan sebayaku, nama itu sama dengan nama belakang Tuan
Stephan, pengusaha tersohor diseantero Inggris. Seorang berperawakan tinggi
besar, pigmen rambutnya pirang menyala, sama dengan iris matanya, garis
ketegasan terlihat jelas dari lelaki berkharisma itu, Ayahku.
Ibuku, Jenice Clown, dulu terlahir
dengan nama Janice Hilllmight dari keluarga darah biru di Rusia, tapi entah apa
yang membuatnya terdampar disini. Saat berjajar denganku ia lebih terlihat
seperti adikku, mungil, rambutnya ikal dan gelap, matanya bulat dan biru,
cantik sekali. Ibuku adalah pribadi yang manja dan lebih tapatnya dia kekanak
kanakan.
****
Aku menutup pintu kamar lalu
berjingkat – jingkat tak karuan, aku yakin sound
kamarku adalah sound terbaik
dikalangan remaja seusiaku. “Hysteria” milik group musik rock USA -muse-
menggema dari tiap sudut kamarku, suara bassnya kuat, berdentuman keras,
sedikit sakit karena memekakkan telinga.
Tiba – tiba
musiknya mati, aku berbalik, “Dad?”, Dad duduk bersila dilantai sambil memutar
– mutar remote control khusus alat
elektronik kamarku, aku suka itu, dia tak segan melantai bersamaku, “kapan Dad
masuk?”
Dad mengankat
bahu, “sejak 1000 tahun sebelum
masehi,” lalu ia tertawa, kami mengobrol. Dad berencana mengajakku ke Zenit,
pulau milik Mom di Corpus Cristi, AS bagian selatan yang hampir menyentuh
perbatasan dengan Meksiko
“Tapi Mom tidak pernah bicara tentang
pulaunya itu Dad, lagipula aku tak mau bolos lagi, itu hal konyol untuk
kesekian kalinya”, kilahku.
“Ayolah sayang...” Dad menatap mata
topazku, aku memenyunkan bibir. Kami saling menatap, sejenak suasana beku. Aku tersenyum
menelengkan kepalaku kearah pintu. Dad mengaduk rambutku, sebelum keluar kamarku.
Kunyalakan
lagi tapeku, kali ini alunan mozart
yang mengalun, membelai – belai telinga mengantarku menuju bidadari pelukis
mimpi.
CORPUS CRISTI, 3 Februari 2009
“Selamat datang di Zenit Nesha..!”
ucap Mom sambil mengecup keningku, aku menguap lebar, “keluarlah… diluar
pemandangannya sangat cantik” tambah Mom sambil melucuti selimutku.
“hm….” Aku maenggerang
“Nesh…” Suara Mom khas, aku tahu pasti
saat ini kesepuluh jarinya sudah siap menggelitiki tubuhku yang masih meringkuk
ditempat tidur.
“Moooooooooom!!!” Suaraku meninggi,
lalu spontan duduk, aku pasang muka termasan yang kupunya. Mom terkekeh,
nadanya mengumandangkan kemenangan. Ggrrrrr menyebalkan.
Dengan langkah terseok – seok aku mengekor Mom dan Dad. Astaga… biru, semua
biru, langit biru, gumpalan awan abstrak seperti kapas. Lautnya luas, ombaknya
kecil, buihnya habis sebelum mencapai pantai, pasir putih dan beberapa pohon
kelapa. Hawa dingin menyergap tiap elemen kehidupan, angin membelai leher dan
menembus kulitku, menelusup diantasa sel dan masuk keruang hati, “Waw!”
Ungkapku kagum.
“Ini Zenit, Nesha!”, ucap Mom,
perhatianku masih tersita untuk tempat asing ini.
“Yeah.. Zenit milik Mom!” Dad
menyahut,
kubuka mataku
lebar - lebar agar bisa melihat pemandangan seluas mungkin, Mom berlari lincah
mirip anak 7 tahun menuju pantai, diikuti langkah kaki Dad yang begitu
kebapakan. Aku tersenyum sejenak, lalu maenghempas ke pasir putih membangun
istana pasir yang sangat rapuh bersama Mom dan Dad.
****
Aku duduk
persis didepan cermin mengamati diri sendiri, makin lama bayanganku terlihat
makin berbeda denganku.
Rambutnya
tersisir rapi, hal yang jarang kulakukan. Aku menatapnya lama, matanya biru
seperti Mom, itu bukan mataku, tapi dia sangat mirip aku. Aku menelengkan
kepala, bayangan itu melakukan hal yang sama. Aku menyentuhkan jariku kecermin,
bayangan itu juga melakukannya.
Aku.. apa yang terjadi? mungkinkah aku berubah? jadi
lebih cantik? bermata biru seperti Mom?
Aku tersenyum, tapi saat aku tersenyum
bayanganku yang cantik itu tak menggerakkan bibirnya, bayangan itu tak mau
tersenyum bersamaku, ia mirip orang bersedih, sorot matanya terluka
Aku benar
benar bingung apa ini, tangan ku berusaha menyentuh wajahnya, dan.... aku dapat
memegangnya, aku bisa menyentuhnya, rambutnya lembut kulitnya halus, ini bukan
cermin, dia bukan bayanganku. Gadis yang mirip sekali daengan aku ini siapa,
dia nyata.
“kau siapa?”,
suaraku lirih, terdengar bergetar. Rasanya hanya bisa berbisik, mendengar
pertanyaanku ia terlihat makin terluka, makin bersedih. Ia menangis.. aku
melihat gadis itu menangis, ya.. dia benar benar menangis aku meliha tair mata mengalir dari mata
birunya. Tapi, betapa kagetnya aku, air matanya keruh, baunya amis, merah. Astaga,
itu darah.
Aku gemetaran.
Ia berlutut meraih kakiku, lalu secepat kilat ia mencakarnya. Aku megap – megap,
nafasku tersengal, aku takut. Rasanya aku sudah cukup keras mengeluarkan
tenagaku untuk berteriak, tapi aku tidak mendengar teriakan apapun, suaraku
terhenti dikerongkongan.
Aku terbangun.
Satu – satunya
mimpi buruk selama 4 hari di Corpus. Aku blingsatan menuju cermin, oh leganya.
Yang kulihat masih tetap Vanesha. Kuamati matanya, ya masih topaz.. lalu aku
cepat menggeser penglihatanku kekaki, “Ups...” cakaran lima jari benar benar
terukir dikaki kiriku.
**Please wait fo the next 'mozaik'**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya :) semoga dengan membaca blog saya, teman teman mendapatkan sesuatu yang baik. Silahkan tinggalkan komentar :)