Assalamualaikuum

Welcome! Selamat Datang! Sugeng Rawuh!

disini aku bercerita, bercita dan bercinta bersama kata.

tak ada yang perlu kusembunyikan dan kututupi dari dunia, aku percaya saat aku bercerita hal besar padanya, dunia akan menceritakan hal dahsyat padaku.

cita citaku sepenuhnya ada padanya, kata. aku percaya melebihi apapun, kami akan selalu bersama.

aku tak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku percaya cinta pada kenyamanan pertama. tak ada yang lebih membuatku nyaman kecuali kata.

Minggu, 05 Agustus 2012

ZENIT (Mozaik 1)


NEWCASTLE, akhir januari 2009

          Namaku Vanesha, tepatnya Vanessha Clown. Aku seperti gadis 16 tahun lain, sekolah, novel, musik, dan tentu gosip. Tapi huruf C-L-O-W-N yang terangkai menjadi nama belakangku itu yang membuatku merasa berbeda dengan sebayaku, nama itu sama dengan nama belakang Tuan Stephan, pengusaha tersohor diseantero Inggris. Seorang berperawakan tinggi besar, pigmen rambutnya pirang menyala, sama dengan iris matanya, garis ketegasan terlihat jelas dari lelaki berkharisma itu,  Ayahku.
          Ibuku, Jenice Clown, dulu terlahir dengan nama Janice Hilllmight dari keluarga darah biru di Rusia, tapi entah apa yang membuatnya terdampar disini. Saat berjajar denganku ia lebih terlihat seperti adikku, mungil, rambutnya ikal dan gelap, matanya bulat dan biru, cantik sekali. Ibuku adalah pribadi yang manja dan lebih tapatnya dia kekanak kanakan.
****


          Aku menutup pintu kamar lalu berjingkat – jingkat tak karuan, aku yakin sound kamarku adalah sound terbaik dikalangan remaja seusiaku. “Hysteria” milik group musik rock USA -muse- menggema dari tiap sudut kamarku, suara bassnya kuat, berdentuman keras, sedikit sakit karena memekakkan telinga.
Tiba – tiba musiknya mati, aku berbalik, “Dad?”, Dad duduk bersila dilantai sambil memutar – mutar remote control khusus alat elektronik kamarku, aku suka itu, dia tak segan melantai bersamaku, “kapan Dad masuk?”
Dad mengankat bahu, “sejak 1000 tahun sebelum masehi,” lalu ia tertawa, kami mengobrol. Dad berencana mengajakku ke Zenit, pulau milik Mom di Corpus Cristi, AS bagian selatan yang hampir menyentuh perbatasan dengan Meksiko
          “Tapi Mom tidak pernah bicara tentang pulaunya itu Dad, lagipula aku tak mau bolos lagi, itu hal konyol untuk kesekian kalinya”, kilahku.
          “Ayolah sayang...” Dad menatap mata topazku, aku memenyunkan bibir. Kami saling menatap, sejenak suasana beku. Aku tersenyum menelengkan kepalaku kearah pintu. Dad mengaduk rambutku, sebelum keluar kamarku.
Kunyalakan lagi tapeku, kali ini alunan mozart yang mengalun, membelai – belai telinga mengantarku menuju bidadari pelukis mimpi.


CORPUS CRISTI, 3 Februari 2009

          “Selamat datang di Zenit Nesha..!” ucap Mom sambil mengecup keningku, aku menguap lebar, “keluarlah… diluar pemandangannya sangat cantik” tambah Mom sambil melucuti selimutku.
          “hm….” Aku maenggerang
          “Nesh…” Suara Mom khas, aku tahu pasti saat ini kesepuluh jarinya sudah siap menggelitiki tubuhku yang masih meringkuk ditempat tidur.
          “Moooooooooom!!!” Suaraku meninggi, lalu spontan duduk, aku pasang muka termasan yang kupunya. Mom terkekeh, nadanya mengumandangkan kemenangan. Ggrrrrr menyebalkan. Dengan langkah terseok – seok aku mengekor Mom dan Dad. Astaga… biru, semua biru, langit biru, gumpalan awan abstrak seperti kapas. Lautnya luas, ombaknya kecil, buihnya habis sebelum mencapai pantai, pasir putih dan beberapa pohon kelapa. Hawa dingin menyergap tiap elemen kehidupan, angin membelai leher dan menembus kulitku, menelusup diantasa sel dan masuk keruang hati, “Waw!” Ungkapku kagum.
          “Ini Zenit, Nesha!”, ucap Mom, perhatianku masih tersita untuk tempat asing ini.
          “Yeah.. Zenit milik Mom!” Dad menyahut,
kubuka mataku lebar - lebar agar bisa melihat pemandangan seluas mungkin, Mom berlari lincah mirip anak 7 tahun menuju pantai, diikuti langkah kaki Dad yang begitu kebapakan. Aku tersenyum sejenak, lalu maenghempas ke pasir putih membangun istana pasir yang sangat rapuh bersama Mom dan Dad.
****
Aku duduk persis didepan cermin mengamati diri sendiri, makin lama bayanganku terlihat makin berbeda denganku.
Rambutnya tersisir rapi, hal yang jarang kulakukan. Aku menatapnya lama, matanya biru seperti Mom, itu bukan mataku, tapi dia sangat mirip aku. Aku menelengkan kepala, bayangan itu melakukan hal yang sama. Aku menyentuhkan jariku kecermin, bayangan itu juga melakukannya.
Aku.. apa yang terjadi? mungkinkah aku berubah? jadi lebih cantik? bermata biru seperti Mom?
Aku tersenyum, tapi saat aku tersenyum bayanganku yang cantik itu tak menggerakkan bibirnya, bayangan itu tak mau tersenyum bersamaku, ia mirip orang bersedih, sorot matanya terluka
Aku benar benar bingung apa ini, tangan ku berusaha menyentuh wajahnya, dan.... aku dapat memegangnya, aku bisa menyentuhnya, rambutnya lembut kulitnya halus, ini bukan cermin, dia bukan bayanganku. Gadis yang mirip sekali daengan aku ini siapa, dia nyata.
“kau siapa?”, suaraku lirih, terdengar bergetar. Rasanya hanya bisa berbisik, mendengar pertanyaanku ia terlihat makin terluka, makin bersedih. Ia menangis.. aku melihat gadis itu menangis, ya.. dia benar benar menangis aku meliha tair mata mengalir dari mata birunya. Tapi, betapa kagetnya aku, air matanya keruh, baunya amis, merah. Astaga, itu darah.
Aku gemetaran. Ia berlutut meraih kakiku, lalu secepat kilat ia mencakarnya. Aku megap – megap, nafasku tersengal, aku takut. Rasanya aku sudah cukup keras mengeluarkan tenagaku untuk berteriak, tapi aku tidak mendengar teriakan apapun, suaraku terhenti dikerongkongan.
Aku terbangun.
Satu – satunya mimpi buruk selama 4 hari di Corpus. Aku blingsatan menuju cermin, oh leganya. Yang kulihat masih tetap Vanesha. Kuamati matanya, ya masih topaz.. lalu aku cepat menggeser penglihatanku kekaki, “Ups...” cakaran lima jari benar benar terukir dikaki kiriku.

**Please wait fo the next 'mozaik'**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya :) semoga dengan membaca blog saya, teman teman mendapatkan sesuatu yang baik. Silahkan tinggalkan komentar :)