Kami
semua sedang berjudi, mempertaruhkan dan mengupayakan segalam macam yang kami
miliki, demi mendapatkan keuntungan
atau... keberuntungan. Waktu, pikiran, tenaga, juga harta orang tua kami. Kami
adalah... mahasiswa.
Baru
saja hal ini mengusik pikiranku, aku yang seorang mahasiswa. Hingga di titik
ini, aku sudah menghabiskan 16 tahun hidupku untuk mengenyam pendidikan. Mulai
dari TK yang peralatan sekolahnya adalah gunting, krayon, plastisin atau balok
– balok kayu, hingga detik ini, aku menjadi seorang mahasiswa.
Apa
sukanya? Apa dukanya?
Jelas
banyak sekali kebahagiaan yang kudapatkan, menjadi seorang mahasiswa yang
diajar oleh mahaguru yang kami sebut dosen. Hm... tidak semua masyarakat
Indonesia merasakannya loh, sekitarku masih banyak yang cukup puas dengan
ijazah SMA. Lalu dukanya? Hm... jelas juga banyak. Dengan segala keterbatasan
sebagai anak kos, kami para mahasiswa harus bisa survive. Bagaimanapun bentuk
dan caranya.
Ini
tahun ketujuh aku menjadi anak kos.
Hai
kalian orang – orang yang tidak pernah merasakan menjadi anak kos, baca tulisan
ini, walau kalian tetap tidak akan mampu merasakan atmosfer kos – kosan, paling
tidak... kalian mengetahui permukaan kehidupan kami.
Rumah
kos adalah sebuah bangunan yang disewakan untuk tempat tinggal, dimana dalam
satu rumah kos terdapat beberapa kamar, belasan, bahkan puluhan. Akan ada
berbagai mahasiswa disana, dari tempat yang bahkan kami tak pernah bisa
bayangkan bentuknya, usia yang berbagai macam, sifat dan sikap yang beragam,
dan tentu saja dari program studi yang bervariasi.
Satu,
dua, tiga, empat, atau bahkan lima bulan. Semua mencoba beradaptasi, dengan
sistem kos, kehidupan serba ‘mandiri’ dari segala macam sudut pandang, lalu
mengenal sekitar. Kemudian mau tidak mau, kami menjadi makhluk sosial secara
nyata.
Akan
ada waktu, kami datang ke kamar sebelah dengan muka bantal dan bilang “airku
habis, boleh numpang boker?”, atau pulang kuliah panas – panas pengen cepetan
leyeh – leyeh di kamar, eh pintu diketuk, dan tetangga muncul “anterin ke
kampus plis, motor gue macet”. Bisa jadi sudah begadang semaleman ngebut paper
eh pagi – pagi udah berisik banget suara tetangga kos nyalain musik. Saling
pinjem baju, alat make – up, sepatu, tas, hair dryer, atau apalah apalah, semua
serba tidak terduga.
Mereka
juga, yang jadi sasaran curhat ketika memang tak ada yang bisa kita andalkan,
mereka yang kita titipin makan tiap males masak, mereka yang ngerokin tiap
masuk angin, mereka yang pukpuk tiap kita patah hati, mereka yang ngupas mangga
tapi kita yang abisin semua buahnya, mereka yang kesiangan bareng buat sahur,
mereka yang paling rumpi pas pacar kita ngapel, mereka yang kita utangin kalau
pulsa abis padahal ATM error.
Di
kos ini, sudah hampir 4 tahun. Penghuni lain datang dan pergi. aku tetep stay
disini. Banyak yang gak betah dan pindah, ada yang lulus dan kawin aja.
Now.
Seperti yang aku bilang sejak awal, kita semua sedang main judi, mempertaruhkan
banyak hal. Aku, aku juga sedang berjudi. Aku ada di kos ini, sabar nunggu
revisian skripsi dari dosen, sambil dijadiin tempat curhat mbak – mbak koas,
sambil ngupas salak tapi dimakan mbak kos, yang njemur baju pagi hari didepan
kamar, yang ngliatin sebelah kamarku pindahan. Aku sedang berjudi, aku menunggu
giliranku, aku menunggu giliranku untuk entah melakukan apa. Kalaupun nanti aku
juga harus pergi dari kos ini (dan memang itu adalah faktanya) aku akan kembali
berjudi ditempat lain. Cari kerja, cari suami, cari duit, cari rumah, semua itu
lewat proses perjudian yang begitu panjang. Bukan perjudian kotor yang hanya
memasang uang dan melempar kartu. Sungguh perjudian ini jauh lebih menegangkan
dan lebih membutuhkan banyak modal, haha, semoga aku segera menang berjudi.
Aamiin.
Kos, 2119150815
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya :) semoga dengan membaca blog saya, teman teman mendapatkan sesuatu yang baik. Silahkan tinggalkan komentar :)