Perkenalkan namaku
Ara dan aku bukan siapa siapa. Bagiku, dunia dan kehidupan adalah semacam film
layar lebar yang selalu berganti kisah. Sedangkan aku sendiri adalah penonton
setia yang duduk hambar di kursi gelapku, tanpa popcorn dan minuman soda. Aku bersyukur
menemukan diriku menikmati cerita monoton tanpa harus ikut merasakannya, hanya
melihat dengan tatapan kosong lelah dan hitam putih seperti papan catur.
-------
Lelaki dibalik kemudi itu tenang,
memandang lurus dan menghunus. Andai sebuah pandangan mampu merubuhkan raga
segar yang sadar, mungkin detik itu pepohonan tumbang dan dan daunnya
menghilang. Rahangnya mengeras, waspada akan kecepatan memasuki 200km/jam yang
dia ciptakan sendiri.
Gadis itu menyandarkan tubuhnya
nyaman, menikmati gerak hiasan dashboard
berbentuk domba yang membuat gerakan
bolak balik dengan lehernya. Mencerna dunianya saat itu bukan semacam game
balap mobil atau polisi girang mencari rampok, tapi dia benar benar bernafas
didalam mobil itu. Menghirup aroma Carmate termahal dan kembali masuk kedalam kepalanya. Alunan
mendayu saxophone quintet memang selalu membius, dalam lengang dan ketiadaan
yang tiada. Sekejap firdaus ini menjadi neraka.
“Kemana?”
lelaki itu mengulang pertanyaannya untuk ketiga kalinya. Senyuman tipis itu
yang membuat semuanya jatuh cinta. Gadis itu dan selusin gadis lain. “Steak? Seafood?
Pizza? Atau sekedar minum coklat hangat dan donat?”
“Terserah”
Suara itu malas. Tapi lebih dari itu semua, suara itu sedih, kecewa, menderita.
Pandangannya dilayangkan ke pinggir jalan, pasangan muda dengan gaya mereka
yang sederhana. Makan di warung angkringan atau lesehan pinggir jalan, hanya
segelas es teh dan beberapa gorengan harga 500 perak. Mereka bicara berbisik
karena mereka duduk rapat, wajahnya berkilauan walau berkali kali terkena
kepulan asap jalanan. Lihatlah, kemilau cinta mengaburkan semuanya.
Mobil
mewah dengan interior nomor satu itu berhenti. Kedua pasang mata itu melihat
tulisan besar ‘Empire XXI’ tapi tak segera turun malah membatu
“kamu
sakit?” lelaki itu terlihat cemas melihat gadisnya menggeleng dan terseok seok
untuk tersenyum. “apa aku melakukan kesalahan?”
Menggeleng.
Dan itu kesalahanmu.
“kamu sedang
ada masalah?”
Mata
indah itu berkaca kaca, pelukan lembut menumpahkan bendungannya yang begitu
tipis. Iya, aku ada masalah mas. Tentang otakku.
Otakku memilih memikirkan lelaki lain saat aku bersamamu.
Isakan itu
mengiris hening, ada kata yang tertelan dan pertanyaan yang dijawab mengambang.
Selebihnya, diluar sana ada seorang lelaki yang kesulitan mendekap hatinya. Matanya
yang jenaka terlihat merah nyaris putus asa. Senyumnya rapuh dan jiwanya lusuh.
Bersandar linglung diruangan pengap menghirup dalam aroma dunia yang menjijikkan. Dan mengepulkan asap rokok setinggi dia mampu
seperti hendak mengusir cinta yang tak diharapkannya hinggap, merayap dan…
disambutnya. Selemah kapas dia berbisik “Banyak hal yang nggak perlu kedengaran
bunyinya, tapi kelihatan tindakannya. Sampai kiamat, aku rasa nggak bakal
pernah kirim bunga atau surat cinta ke kamu. Tapi dari hari pertama aku
menyayangimu suka sampai kiamat nanti, aku akan jadi orang yang paling siap
diandalkan”
----
‘Banyak hal yang
nggak perlu kedengaran bunyinya, tapi kelihatan tindakannya. Sampai kiamat, aku
rasa dia nggak bakal pernah kirim bunga atau surat cinta. Tapi dari hari pertama
dia suka sampai kiamat nanti, dia akan jadi orang yang paling siap diandalkan’
Ara
kembali menginagat kalimat yang sama, suara actor malang itu terlalu jelas
untuk dilupakan begitu saja, sesungguhnya itu terlalu biasa tapi sejujurnya makna
yang kuterima begitu terasa.
“Ara! Ara! Ayo kita
pulang sayang” Sentuhan lembut di jemari kananku membuatku tersadar, layar bioskop
itu sudah menghitam.
“Oh, iya… ayo”,
tanpa basa basi kuangkat pantat dan berjalan menuju parkiran mobil, terlihat
dari kejauhan mobil mewah warna merah mentereng berjajar dengan mobil lainnya,
tapi tumpanganku tetap yang terbaik dikelasnya. Aku duduk santai sambil
mengucap selamat tinggal pada tulisan ‘Empire XXI’ di hadapan kami. Tanganku dengan
otomatis memilih lagu untuk diputar, lalu aku memencet tombol ‘play’ saat layar
kecil itu mendeteksi instrument manis milik Kenny G berjudul Tears in the
Heaven.
“nice jazz, itu saxophone
quintet” Lelaki disebelahku melempar senyum tipisnya, Tuhan... dia Ayah dari
calon anak anakku. Tampan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya :) semoga dengan membaca blog saya, teman teman mendapatkan sesuatu yang baik. Silahkan tinggalkan komentar :)