Assalamualaikuum

Welcome! Selamat Datang! Sugeng Rawuh!

disini aku bercerita, bercita dan bercinta bersama kata.

tak ada yang perlu kusembunyikan dan kututupi dari dunia, aku percaya saat aku bercerita hal besar padanya, dunia akan menceritakan hal dahsyat padaku.

cita citaku sepenuhnya ada padanya, kata. aku percaya melebihi apapun, kami akan selalu bersama.

aku tak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku percaya cinta pada kenyamanan pertama. tak ada yang lebih membuatku nyaman kecuali kata.

Selasa, 09 Desember 2014

Kurikulum 2013 diberhentikan, hanya ingin komentar : 'oh'

Malam ini sedang ada diskusi ramai di grup WA temen” mahasiswa PBI 2011, bukan membahas akreditasi, bukan membahas tugas atau perubahan jadwal dosen, but we are talking about the hottest issue of the day. Pemberhentian Kurikulum 2013, oleh Mendikbud, Anies Baswedan. Yah... memang agak berat diskusi malam ini.

Langsung saja tergerak untuk menuliskan ini, apa namanya ya... Curhat lebih tepatnya.



Mayoritas teman – teman mahasiswa menyuarakan setuju atas pemberhentian kurikulum ini, mereka memunculkan berbagai alasan pendukung, baik fakta maupun opini, bukankah Indonesia sudah memerdekakan rakyatnya untuk beropini?!

Bismillahirohmanirrohim....

Mungkin bagi kita anak kuliahan yang mempelajari kurikulum secara teoritis, bisa mengatakan K-13 ini sangat muluk – muluk. Ya. Memang konsepnya sama sekali berbeda dengan kurikulum – kurikulum sebelumnya.

Ketika membaca pengantar K-13 pertama kalinya, secara otomatis otak akan memproses sebuah gambaran visual mengenai proses belajar mengajar yang mungkin akan berjalan dikelas. Besar kemungkinan otak akan membandingkan gambaran itu dengan potongan ingatan dari apa yang selama bertahun – tahun lalu menjadi rutinitas : jaman sekolah. Bagaimana dulu kita duduk tenang mencatat omongan guru, namun dalam hati menanti bel pulang berbunyi, bahkan girang setiap ada hari libur. Bukankah begitu? Ayo mengaku saja. Saya juga kok...
Contoh kecil itu, menjadi gambaran betapa tidak menyenangkannya sekolah kita. Dengan begini, secara psikologis kita akan sangat menggaris bawahi  poin : pada K-13, ada  tambahan jam pelajaran, dan pengurangan jatah liburan. Pasti mencekik kan? Ya! Setidaknya itu yang ada dibayangan saya.

Karena saya membayangkan bagaimana cara belajar saya dulu, dan ini kesalahan saya. Karena tidak secara holistik mendalani K-13. Semua pasti akan mencekik ketika guru mengajar dengan cara konvensional, bahkan konvensional yang dipaksa modern (mendengarkan presentasi melalui slide). Tapi akan jauh berbeda ketika K-13 dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh, memang disini kreatifitas guru sangat dituntut karena K-13 sedikit banyak mengikut sertakan peran (Kalau Prof. Howard Gardner bilang...) Multiple intelegences, siswa aktif mencari tahu dengan cara bereksperimen, dimana hal ini diharapkan lebih mudah menancap di otak siswa. Remember, experience is the best teacher!  

Sudah saya katakan, sejujurnya bayangan saya K-13 adalah bencana, apalagi bagi siswa SD. Iseng, saya tanyakan pada Ibu saya, (seorang guru SD, lulus S1, usia 51 tahun, mengajar sejak lulus SPG atau setara SMA) setelah sebelumnya saya melihat Ibu benar – benar ‘belajar’ tentang K-13, beliau membawa pulang buku pegangan guru, dan benar – benar ‘belajar’  sampai larut, dan Ibu sering terlibat diskusi dengan bapak (kepala sekolah) yang lebih sering ikut seminar atau semacamnya di Diknas. Bahkan terakhir, Ibu meminta saya mengajarinya membuat materi menggukan power point, dari itu saya tahu bahwa Ibu saya seorang fast learner. Pintar untuk guru seusianya. Oke, kenapa malah ngomongin ibu -_- . pertanyaan saya pada Ibu adalah,

“Apa K-13 itu sulit untuk Ibu?”, jawaban ibu : Sulit. (Ctt : Ibuku fast learner untuk guru seusianya)

“Apa ibu benar – benar menerapkan K-13 kepada murid Ibu?”, beliau jawab : sepanjang kemampuan Ibu. Kalau bisa yang dipakai, kalau tidak ya pakai yang dulu. Sebisanya.

“kesulitannya apa bu?”, jawaban ibu : banyak... Lha gimana, buku siswa aja gak ada. Ya terpaksa pakai buku sebelumnya.

“muridnya seneng gak belajar sampe siang” gitu?” : (ini guys! Baca ini! Ini yang paling esensial) “SENENG! Soalnya K-13 itu kan kaya bermain di sekolah, banyak keiatan mandiri. Kadang malah Ibu harus memaksa kelas bubar, karena sudah waktunya pulang. Mereka juga terlihat senang karena setiap hari bawa makan siang”

SKAK! Siswanya suka! Dan ini adalah cerita Ibu yang kebetulan seorang guru ke anaknya, bukan cerita pegawai dinas pendidikan yang bahkan bisa jadi gak pernah masuk kelas. Dengan keadaan Indonesia yang seperti sekaraing ini, bukankan menjadikan sekolah sebagai tempat yang disukai siswa adalah sebuah prestasi?? Ya! Itu sebuah prestasi besar, paling tidak dilakukan oleh Ibuku.

Tapi, berprestasi itu perlu modal, modal dana itu jelas. Mana ada mengajar tanpa ada buku dihadapan siswa?? Dari berbagai macam sumber, rata – rata fokus perhatian (retention rate) manusia hanya 15 – 20 menit. Mengoptimalkan menit-menit ini salah satunya adalah dengan ‘mengalami sendiri’, bisa berarti membaca sendiri, melihat sendiri, or everythings yang tidak akan mereka alami kalau dikelas hanya ada satu buku, itupun pegangan guru.

Next, masalah SDM guru Indonesia. 552.XXX tercatat di BPS pada TA 2012/2013. Banyak memang, tapi kita semua tidak tahu pasti bagaimana kualitasnya. Sertifikasi guru adalah iming – iming pemerintah demi menaikkan kualitas guru, jangankan menaikkan kualitas, malah tingkat perceraian guru yang meningkat (kalo kamu pinter, kamu akan tau apa alasannya. Ini logis teman – teman). Syarat sertifikasi memang terlihat rumit, tapi dengan asas gotong royong dan tolong menolong semua menjadi lebih mudah. Belum lagi hasilnya... entah bagaimana, tapi kasus ini muncul dimana – mana, guru yang sudah sepuh hampir pensiun ‘didahulukan’ sertifikasinya. Kan kasian...(mungkin begitu). Nampaknya guru kita krisis kepercayaan diri saudara – saudaraku, juga krisis kejujuran.

Tapi semua itu ada akarnya : kurang matangnya persiapan K-13, sehingga implementasinya terkesan kocar – kacir. Terlalu memaksakan K-13, lebih tepatnya tanpa benar – benar memperhatikan guru kita. Beruntung narasumber saya (ibu) adalah seorang fast learner, karena Ibu juga menceritakan.. ketika diklat K-13 kebanyakan guru kuwalahan dan lebih memilih rame sendiri, pamer cucu masing - masing. Mungkin bu guru lelah :D

Masih masalah kualitas guru. Pendidikan profesi wajib bagi calon guru baik lulusan prodi pendidikan atau prodi non-pendidikan, satu tahun, dengan alasan meningkatkan kualitas. In my humble opinion, the one who ketok palu buat ini pasti migren. Logikanya : mahasiswa lulusan prodi pendidikan SUDAH belajar mengenai pendidikan selama kurang lebih 4 tahun, kalau mau ditambah pendidikan profesi, jadi 5 tahun, oke... akan ada kemungkinan peningkatan kualitas. Tapi.... mahasiswa  lulusan prodi nonpendidikan yang 0 tahun belajar pendidikan akan tetap bisa menjadi pengajar dengan ikut 1 tahun saja pendidikan profesi, dimana peningkatan kualitasnya?? Hoy Pak, Jangan kira orang yang bisa kimia berarti pasti bisa mengajar kimia, orang yang paham biologi bisa langsung mengajar biologi. IT IS EXTREMLY DIFFERENT. Saya, korbannya. Saya stress ketika kelas 10 SMA belajar Kimia padahal saya peringkat satu dikelas. Waktu itu saya tidak tahu, tapi sekarang saya tahu. Guru saya seorang S.Si. Dia boleh sangat pandai berteori, tapi kurang dalam mendidik kami.

Setelah K-13 membuat jagad pendidikan gonjang – ganjing, sekarang malah diberhentikan, dimata saya  ini adalah inkonsistensi (kata ini saya pinjam dari salah satu teman di forum WA). Kami pelaku lapangannya bingung Pak... kasian guru – guru yang sudah belajar mati – matian, siswa yang ‘suka’ kan jadi merasa di PHP juga...

Saya kan sudah bilang ini cuma curhat, jadi gak ada kesimpulannya. Sekian. The end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya :) semoga dengan membaca blog saya, teman teman mendapatkan sesuatu yang baik. Silahkan tinggalkan komentar :)