Namanya Dandelion.
Dia dicintai makhluk Tuhan lainnya, diperebutkan untuk
dimiliki. Dandelion memilih sendiri cerita hidupnya walau tak diminatinya. dia
yang rapuh selalu egois tak ingin berbagi dengan siapapun. Menyimpan kecantikannya untuk dirinya dan
Tuhan saja.
Dandelion benci pada hal lemah didunia ini, semacam angin
sepoi yang mampu membunuhnya dalam sekali hentak dan lenyap! Dandelion tak
bertahan untuk disakiti. Dia hanya berpesan “Cinta itu sederhama saja…
berdamailah dengan dirimu, berkomitmen untuk bertahan. Memegangi jemarinya
dengan lembut tapi membiarkannya pergi saat dia tak mampu menerimamu lagi”
Dandelion mengalah untuk hilang , dia berdamai dengan
keindahan dunia yang tak akan lagi sudi diikmatinya.
Seperti kata pujangga terkenal yang mengemis. Dengan berderai
air mata dia mulai berkata… aku sudah
bernyanyi didepanmu, tapi kau tak juga menari. Aku sudah menangis dihadapanmu,
tapi kau tak juga mengerti. Haruskah aku mengangis sambil menari?
Dandelione memilih egois walau dia benci, terrsingkir karena
keindahannya sendiri
Dandelione diam, akhirnya dia paham… untuk apa dia
disiptakan.