Assalamualaikuum

Welcome! Selamat Datang! Sugeng Rawuh!

disini aku bercerita, bercita dan bercinta bersama kata.

tak ada yang perlu kusembunyikan dan kututupi dari dunia, aku percaya saat aku bercerita hal besar padanya, dunia akan menceritakan hal dahsyat padaku.

cita citaku sepenuhnya ada padanya, kata. aku percaya melebihi apapun, kami akan selalu bersama.

aku tak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku percaya cinta pada kenyamanan pertama. tak ada yang lebih membuatku nyaman kecuali kata.

Rabu, 14 Oktober 2015

Remember the Scene



Diiringi instrumen manis tanpa vokal, aku masuk dalam potongan film hitam putih yang diputar perlahan. Film yang tanpa perlu publikasi menggunakan poster besar apalagi masuk layar lebar, tapi ketenarannya sudah membuatku kewalahan, namanya: masa lalu. Faktanya memang begitu, kedigdayaan masa lalu hanya membutuhkan beberapa detik untuk kembali merayapi ingatan kemudian menguasai pikiran, celakanya aku tak memiliki suplai tenaga untuk melawan.


Dulu kita saling mencintai, tapi kita tak belajar bahwa bumi dan matahari tetap menjaga jarak dalam mencintai agar tak saling menyakiti. Jenuh membungkus perasaanmu, aku malah sudah berdiri diawal petualanganku. Kita saling tak perduli, kita berdua sama – sama tahu bahwa kita sama sekali bukan dalam tahap tergila – gila. Episode selanjutnya kita memilih untuk tak lagi bersama walau kita berdua tahu kita saling mencinta.  
Kujalani kehidupanku dengan terus berpetualang, tapi aku terlelap dengan kamu dalam mimpiku. Aku tertawa bahagia ditengah petualanganan, tapi kamu menjelma sebagai luka yang belum mampu disembuhkan  masa. Ragaku selalu datang berpetualang tapi kamu hadir menjadi separuh pikiran. Mungkin, aku terlalu pintar bersandiwara, tapi.. siapa yang tidak jadi gila? Haruskah aku terlebih dulu menderita skizofrenia, memunculkan bayangan lain demi bersembunyi dari masa lalu?
Entah salah siapa, kamu yang terlebih dahulu jenuh atau aku yang terlebih dahulu mencuri start untuk melakukan petualangan. Lupakan saja, bagiku semua alasan telah kadaluarsa. Sekedar informasi untukmu, aku mulai kritis. Besar harapanku agar Tuhan tidak jengah dengan doaku.
Tempias air hujan menjadi saksi bisikanku pada telinga petualangan, “ajak aku berpetualang selamanya. Bawa aku ke Mahameru! Ajak aku ke Finlandia melihat aurora! Ayo ke Arashiyama Sagano, ada hutan bambu yang ketenarannya mendunia!” Mata petualangan menatapku iba, raut wajahnya seperti menyanyakan ‘sesakit itukah rasanya?’ walau kemudian petualangan mengangguk mantap dan tersenyum sekilas. Tahap selanjutnya malah aku yang menjadi gentar, aku bahkan tidak ingin siap untuk benar – benar melupakan masa lalu.
Kubilang, aku pandai bersandiwara. Aku tetap datang berpetualang setiap hari dengan bahagia, tertawa, ceria, hingga kubiarkan diriku terpesona. Tapi hatiku mencatat tebal, ada potret lain yang dibawa petualangan dalam hal ini. Potret itu masuk lalu menusuk. Aku yang sudah porak – poranda ditusuk? Buat apa? Toh aku sudah jadi remah - temah. Aku membenci tapi tidak mendendam, aku bersedih tapi tidak menangis, aku sakit tapi aku baik - baik saja. Ada satu bagian yang harus kuingat, petualangananlah yang telah berbaik hati bersandiwara baik padaku. Aku tidak akan membalasnya, aku hanya mencatatnya, itu sudah lebih dari cukup. Toh sejak awal berpetualang, aku tak menjajinkan diriku seluruhnya untuk setia.
Ketika petualangan memaksaku membuat catatan hitam tentangnya. Aku malah makin pintar bersandiwara pada siapa saja. Kusingging senyum dipagi hari, walau akan tetap kembali terengah - engah ketika kamu menyusupi mimpi di malam hari. Sejak itu aku mengerti, tidur tak lagi mengasyikan. Dari sekian banyak kemungkinan, alam bawah sadarku tetap memilih kamu, yang pada episode selanjutnya muncul membawa sosok baru lain untuk dikenalkan oleh keadaan kepadaku.
Hatiku kebas. Kamu, petualangan dengan sosok baru, kemudian kamu dan sosok baru, tiga hantaman tanpa koma. Aku lari dari kenyataan dengan cara menulis, membuat kehidupan lain. Aku lari dari rasa sakit dengan menertawakan kepolosanku. Aku lari dari bayanganmu dengan berdoa. Tapi, agaknya kamu juga mengerti “adakah jalan untuk lari dari pikiranku sendiri?” Haruskah aku mengamini cerita konyol dosenku, “meninggalkan otak di kulkas?”. Sayangnya, bahkan kulkas saja tidak ada di kamar kosku.
Lama kupandangi fotonya, foto sosok baru yang malam itu duduk disebelahmu. Aku teringat celetukanku dengan seorang dokter bedah, “ kenapa nggak pacaran saja sama teman sesama dokter aja Mas. Kan asik, nyambung”, jawabannya diluar dugaan. “Mas kan pengennya pacaran, bukan ngomongin penyakit”, aku diam. Kemudian menyimpulkan. Jadi kamu lebih suka ngomongin penyakit.
Kupandangi fotonya lagi, dengan semena - mena hatiku membelanya. Mungkin dia tidak hanya tahu penyakit, tapi dia juga tahu cara mengobatinya. Dia tahu kamu sakit apa, jadi dia bisa mengobatimu. Lalu aku?
Makin kupandangi wajah itu, kini dengan perasaan kalah. Kuhitung berapa lelaki yang kusingkirkan, demi lelaki yang kemudian meyingkirkanku demi wajah itu. Kuhitung jumlah hari aku bertahan demi dikalahkan oleh wajah itu. Kuhitung berapa banyak hati yang ingin membahagiakanku tapi malah kusakiti, demi lelaki yang menyakitiku demi membahagiakan wajah itu. Aku bahkan butuh jari orang lain untung menghitung totalnya.
Saat itu,  bukan lagi seperti film hitam putih yang diputar perlahan, tapi layar sudah menjadi hitam. Segalanya usai. Tapi diakhir perjuangan aku tersenyum, untuk beberapa hal. Yang pertama aku lega akhirnya aku tahu semuanya, yang kedua aku akhirnya tahu perjuanganku menemukan ujungnya, dan yang terakhir sekaligus yang aku percaya, bahwa senyumku jauh lebih manis dibandingkan senyuman di foto itu. Aku memang merasa kecil setelahnya, tapi aku masih percaya, aku tetap baik – baik saja.
Aku berharap, dengan separuh hati, kamu tak menjadikan wajah itu orang kedua yang kamu lukai setelah aku. Apalagi membuatnya terkatung – katung lebih lama.
Aku tak mengutuk siapa – siapa, aku tak marah pada keadaannya. Malam itu kuputuskan merapal doa tanpa namamu didalamnya, “jika calon imamku jauh, dekatKan. Jika calon imamku sudah dekat, mudahKan. Jadikan dia salah satu dari orang yang kutemui selama seminggu kedepan, Tuhan. Aku siap membuka buku baru”
Semoga ini jawaban dari Tuhan. Tanpa menunggu seminggu, aku dan kauu sudah duduk diatas pasir putih, menikmati matahari yang tinggal sejengkal dari cakrawala. Ya, aku siap membuka buku baru walau bukan untuk orang yang tak lagi baru, terimakasih Tuhan.

Yang dulu dan kini sama baiknya. Yang dulu baiknya berlalu, yang kini baiknya selalu –Yajugaya-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya :) semoga dengan membaca blog saya, teman teman mendapatkan sesuatu yang baik. Silahkan tinggalkan komentar :)